Cerita Rakyat Yogyakarta " Bima Di Kali Opak "



Bima Di Kali Opak

                Pada malam hari di musim kemarau, tatkala bulan tidak muncul dan tidak ada awan-gemawan melintas di angkasa, di langit yang biru nampak jutaan bintang bertebaran. Jika diperhatikan lebih mendalam terdapat sekelompok bintang berjejeran menyerupai diskus, yakni semacam ikan hias yang bentuknya semacam cakram. Sinarnya tidak begitu terang karena jaraknya sangat jauh dari Bumi, yaitu ratusan ribu tahun cahaya. Kelompok bintang-bintang itu sering disebut dengan Bima Sakti.
                Memandangi bentuk yang jauh sekali letaknya seperti itu, dapat memunculkan berbagai ujud dalam benak melihatnya. Tidak mengherankan jika muncul pendapat, bentuk kelompok bintang itu menyerupai sosok Bima–seorang tokoh wayang dari keluarga Pandawa–yang tengah bertempur melawan seekor naga di tengah samodra, dalam kisah Dewa Ruci.
                Menurut penuturan seorang bapak yang sudah lanjut usianya, yang tinggal di desa Taman Wisata Prambanan, konon kawasan Sungai Opak yang mengalir di sebelah Candi Prambanan di masa lalu sering sekali meluap. Airnya membanjiri dan mengalir hingga jauh masuk ke desa-desa. Tentu saja, ini terjadi pada musim penghujan. Dan apabila banjir tengah melanda, disebutkan bahwa seluruh wilayah Prambanan berubah menjadi layaknya lautan.
                Alkisah setelah Bima dipanggil oleh gurunya, yakni Durna untuk mencari Perwitasari–yang maksudnya air kehidupan–berangkatlah ksatria bertubuh besar ini ke Gunung Merbabu. Di tengah perjalanan ia dihadang oleh dua raksasa besar yang meminta agar Bima mengurungkan niatnya. Dikatakan oleh mereka bahwa yang disebut Perwitasari tidak pernah ada. Nama itu hanya rekaan belaka. Kalau Durna memintanya untuk mencari tujuannya tak lain hanya agar Bima celaka. Karenannya ia diminta mereka untuk pulang.
“Tidak mungkin seorang guru mencelakakan muridnya” jawab Bima dengan geram.
                Kemauan kuat Bima menjadikan raksasa itu jengkel. Maka terjadilah perang mulut diantara mereka yang dilanjutkan dengan adu kepalan tangan. Tatkala, Bima menghantamkan pukulannya bersama-sama dan masing-masing mengenai kepala dan perut mereka. Dua raksasa  itu pun seketika berubah menjadi sepasang dewa. Mereka memuji kemauan kuat yang dimiliki Bima, hanya saja mereka berpesan agar Bima harus berhati-hati. Bima berterima kasih atas nasehat itu dan turun kembali untuk menemui Durna.
                Setelah bertemu dengan Durna di padepokannya Sokalima berkatalah Bima
“Apakah Bapa Guru menghendaki aku mati?”
”Jika memang itu yang Bapa Guru inginkan akan aku penuhi” sambung Bima.
“O, tidak tidak. Sama sekali tidak. Kamu jangan salah paham” jawab Durna.
“Bapa Guru jangan malu untuk berterus terang. Sebagai murid aku wajib menuruti semua nasehat guruku. Katakanlah!” Bima mendesak.
“Baiklah Bima. Tapi kamu harus tahu aku tidak bermaksud untuk mencelakakan kamu” kata Durna dengan agak gugup.
“Ketika kamu tiba di puncak Gunung Merbabu, Perwitasari sudah pindah tempat. Kini air kehidupan itu berada di dasar Sungai Opak. Sekarang beranikah kamu menyelam ke dalamnya untuk mendapatkan air tersebut?” tanya Durna.
Bima mengangguk.
                “Tatkala hujan deras dan air meluap ceburkan dirimu ke dalamnya. Di sana akan kamu temukan Perwitasari” kata Durna tegas.
Maka tanpa berpikir panjang Bima pun segera berangkat ke tepi Sungai Opak. Kakaknya, Yudhistira dan adik-adiknya, Arjuna, Nakula dan Sadewa berusaha untuk menghalangi niat dari Bima tersebut. Mereka khawatir jika Bima akan menemui ajalnya begitu masuk ke dalam arus sungai, apalagi pada saat meluap. Tetapi Kunthi, ibunya malah mendorong niat dari Bima tersebut.
                “Aku memang sangat khawatir akan keselamatanmu. Tetapi kamu seorang ksatria. Sekali kamu berkata ya harus benar-benar ya” kata Kunthi. Ibu yang lembut hati itu tak dapat menahan derasnya air mata keluar dari matanya.
“Karena itu, putraku Bima” katanya lagi.
“Betapa pun beratnya hatiku, aku harus rela melepaskanmu”
Kunthi berhenti berkata untuk menguasai hatinya yang bergejolak.
                “Sebab hanya dengan menepati janjimu sendiri keksatriaanmu akan tetap terjaga harum, apa pun resikonya bahkan hingga engkau harus gugur”
Setelah berkata demikian, membanjirlah air mata Kunthi bagaikan tumpah dari sejuta air mata.
                Sementara itu, guruh di angkasa tiba-tiba bergemuruh dan terdengarlah suara guntur. Lalu hujan deras turun bagai tercurah dari langit. Dan dalam waktu yang tidak sampai sepuluh menit terdengar suara ombak bergemuruh. Bima segera tahu jika air bah turun dari Gunung Merapi melalui Sungai Opak dan meluap jauh. Setelah memberi hormat kepada ibunya Bima melompat dan lari bagaikan angin gaib dan langsung turun menceburkan diri ke dalam aliran sungai. Begitu ia menyelam mencari dasarnya, sungai itu menjadi dalam sekali. Ia mencari kesana dan kemari dimana Perwitasari ada. Tiba-tiba muncullah seekor naga raksasa dari dasar sungai. Naga itu langsung menyerangnya. Bima gugup dibuatnya. Tetapi karena terlatih untuk berkelahi ia mampu mengatasi keadaan dengan cepat. Kepala naga itu segera dipengangnya dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya menusukkan kuku Pancanaka yang terpasang di ujung ibu jarinya ke tubuh naga itu. Darah pun menyembur dari dalam tubuh naga itu. Seketika sungai pun berubah warna menjadi merah darah. Sungguh aneh. Warna merah tersebut perlahan-lahan berubah menjadi cerah, lalu kekuning-kuningan, menjadi lebih kuning dan akhirnya seketika itu juga seluruh air sungai kembali menjadi putih dan bersih.
                Tiba-tiba muncullah seseorang dengan tubuh kecil mirip dengan Bima menhampiri ia.
                “Masuklah ke dalam telingaku, Anakku” kata manusia kerdil itu. Walaupun dalam keadaan yang masih bertanya-tanya mengenai hal tersebut, Bima segera mengikuti perintahnya. Di dalam telinga si kerdil, Bima merasakan bagaikan di istana yang sangat indah. Baru di sini Bima benar-benar bisa mengetahui kepribadiannya. Bima berhasil menemukan pribadinya sendiri yang artinya ia menyadari kekuatan dan kelemahannya. Karenanya ia sudah tahu tidak ada gunannya bersikap sombong.
                Para dewa sangat terharu dengan kemauan dan tekad Bima yang sangat kuat. Agar semangat Bima dapat menjadi teladan bagi siapa saja, para dewa mengabadikan tempat pertempuran Bima dan naga dalam bentuk lukisan yang terpajang di langit. Lukisan itu terbentuk dari jutaan bintang-bintang yang menyusun sebuah bentuk tertentu. Oleh penduduk lukisan di langit itu disebut dengan Bima Sakti.

Kesimpulan
Cerita tersebut lebih tepat disebut dengan legenda. Legenda ini memang kurang populer di kalangan penduduk Yogyakarta, namun memounyai pesan moral yang penting. Sebagai manusia seorang harus mempunyai tekad yang kuat untuk mencapai cita-cita. Keteguhan tekad yang dibina dan dipupuk terus semakin lama akan menjadi bagian dari kepribadian seseorang. Orang dengan kepribadian yang kuat tidak akan mudah tergiur dan teromabang-ambing. Ia juga akan disegani dan dihormati oleh teman-temannya. Sebab ia menjadi manusia terpercaya.

Komentar

Postingan Populer