Cerita Rakyat Yogyakarta " Badhong Gatutkaca "


Legenda Badhong Gatutkaca

Di wilayah Yogyakarta sebelah utara, tidak jauh dari museum seni rupa Affandi yang terkenal itu, ada sebuah dusun yang dikenal dengan sebutan Pringgondani. Di dusun ini, sampai dengan sekitar tahun 1967, ada sebuah batu besar. Batu ini kemudian dihancurkan sedikit demi sedikit dengan palu besi karena dirasa mengganggu, seiring dengan perkembangan pembangunan di wilayah itu.

Menurut beberapa orang ahli geologi, jenis batu besar itu sama dengan jenis batu-batu yang ada di hampir sepanjang Sungai Gajah Wong, yang mengalir di sisi museum seni rupa Affandi. Batu besar itu juga sejenis dengan yang dapat dilihat di sepanjang Kali Krasak, di seputar perbatasan antara Yogyakarta dan Magelang. Dari petunjuk ini diperkirakan, batu besar itu berasal dari perut Gunung Merapi yang meletus pada abad yang lalu.

Akan tetapi, beberapa orang penduduk yang tinggal di dusun Pringgondani, terutama yang berusia lanjut, mempunyai pandangan yang berbeda. Menurut mereka, batu besar dengan bagian atas yang tampak runcing itu, pada mulanya adalah badhong milik Gatutkaca, seorang tokoh dari jagad pewayangan, seorang ksatria putra Bima Sena, yang dikenal sangat terampil berperang, sakti, dan memiliki kemampuan terbang dengan kecepatan 10.000 kilometer per detik. Seperti sering dikisahkan oleh Ki Dhalang, Gatutkaca tinggal di Kerajaan Pringgondani. Oleh karena itu, jika dusun itu disebut Pringgondani, penduduk setempat terutama yang sudah berusia lanjut suka membayangkan bahwa wilayah itu berada di bawah kekuasaan Prabu Anom (raja muda) Gatutkaca.

Akan tetapi apakah yang dimaksudkan dengan badhong itu? Jika kita melihat tokoh pewayangan baik yang tampil dalam wujud wayang orang atau wayang kulit maka kita akan melihat sejumlah tokoh mengenakan semacam sayap di punggungnya. Itulah yang disebut dengan badhong. Namun demikian, badhong bukanlah gambaran sayap; benda itu sebenarnya menggambarkan peraba atau semacam mahkota cahaya. Dengan kata lain, jika ada tokoh yang dilukiskan mengenakan badhong, tokoh itu dibayangkan mempunyai kekuatan luar biasa yang memancar keluar. Karena Gatutkaca adalah salah seorang yang memiliki kekuatan luar biasa maka ia mengenakan badhong pula.

Alkisah dikatakan oleh sejumlah penduduk lanjut usia di dusun Pringgondani itu, pada suatu hari di kerajaan itu terjadi pergolakan. Salah seorang paman Gatutkaca yang bernama Brojodento, tiba-tiba punya pikiran aneh. Ia merasa bahwa ia mempunyai hak atas tahta Kerajaan Pringgondani. Gagasan semacam ini muncul karena pada dasarnya tatkala Gatutkaca diangkat menjadi raja, usianya masih terlalu muda. Di samping itu, sebagai putra sulung Raja Arimbo, Brojodento merasa berhak atas tahta itu sesudah ayahandanya mangkat.

Dengan kata lain, Brojodento tidak dapat menerima keputusan ayahandanya tatkala memberikan tahtanya kepada Arimbi, adik Brojodento yang kemudian menikah dengan Bima Sena dan melahirkan Gatutkaca.

Pergolakan pikiran akhirnya mendorongnya untuk tidak mau mengakui Gatutkaca kemenakannya sebagai raja Pringgondani. Konsekuen dengan keputusannya, ia menolak untuk pergi menghadap di Kerajaan Priggondani dan melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya sebagaimana layaknya para punggawa Kerajaan Pringgondani. Tidak hanya itu, Brojodento pun memaklumkan perang dengan Gatutkaca. Ia mengirim surat lewat salah seorang utusan yang menegaskan bahwa jika dalam waktu satu minggu sesudah diterimanya surat itu Gatutkaca tidak juga mau menyerahkan mahkota dan tahta kepadanya maka Kerajaan Pringgondani akan digempurnya.

Membaca surat itu, Gatutukaca menjadi sedih; demikian pula Arimbi ibunya, sebab jika Gatutkaca melayani tantangan Brojodento, berarti Gatutkaca akan berhadapan dengan pamannya sendiri. Secara fisik Gatutkaca tidak takut karena oleh para dewa ia telah diberi sejumlah pakaian khusus yang memiliki kesaktian-kesaktian tertentu. Adapun pakaian itu berupa, pertama, kutang bernama Antakusuma, yang membuatnya bagaikan mengenakan jaket antipeluru. Kedua, tutup kepala yang diberi nama Basunanda, semacam helm yang mempunyai kesaktian menahan hujan deras, petir, dan panas matahari yang membakar. Ketiga, sepasang terompah yang diberi nama Madu Kancreman. Apabila terompah itu dikenakan, Gatutkaca akan mampu meghancurkan gunung dengan sekali sepak. Dengan kesaktian seperti ini, sangat mudah baginnya mengalahkan Brojodento, pamannya. Tetapi persoalannya bukan hanya itu. Ia merasa tidak pantas perang tanding melawan Brojodento karena bagi Gatutkaca, Brojodento sudah dianggap seperti orang tuannya sendiri. Dalam keadaan penuh kebimbangan seperti itu, Arimbi–ibu Gatutkaca–mengutus adiknya, Brojomusti dan Brojolamatan untuk menemui Brojodento dan mengingatkan bahwa sikap yang telah dipilihnya keliru. Maka berangkatlah dua orang utusan itu.

Dalam perjalanan melaksanakan tugas itu, Brojomusti dan Brojolamatan berpapasan dengan pasukan di bawah pimpinan Brojodento yang akan menggempur Pringgondani. Brojomusti dan Brojolamatan berusaha mengingatkan abangnya bahwa apa yang ia lakukan dapat disebut makar karena melawan pemerintah yang sah. Brojodento menjawab bahwa Brojomusti dan Brojolamatan dapat dikatakan ksatria penjilat karena tidak mempunyai pendirian yang teguh. Brojodento menambahkan bahwa Arimbi–adiknya–demikian juga Gatutkaca–kemenakannya–ibaratnya adalah perampok mahkota dan tahta yang seharusnya jatuh ke tangan Brojodento. Jika Brojomusti dan Brojolamatan–dalam keadaan seperti itu–tetap berpihak kepada Gatutkaca dan Arimbi bahkan memusuhi Brojodento maka kedua orang saudara itu dapat disebut menjadi buta oleh kedudukan, pangkat, dan derajat dengan mengorbankan kebenaran.

Perang mulut diantara merka berkepanjangan dan akhirnya diakhiri dengan perkelahian. Dalam perkelahian itu walaupun Brojodento harus melawan Brojomusti dan Brojolamatan, ia tetap dapat memenangkan pertempuran. Bukan saja karena lebih berpengalaman dalam perang tanding, tetapi terutama karena Brojodento lebih tua usianya sehingga lebih berwibawa.

Dalam pertempuran yang semakin tidak seimbang, akhirnya Brojomusti memutuskan untuk melarikan diri, demikan juga dengan Brojolamatan dan melapor kepada Raja Muda Gatutkaca

Di sithinggil– bagian depan Keraton Pringgondani–kedatangan Brojomusti dan Brojolamatan disambut sendiri oleh Gatutkaca dengan penuh haru. Kepada Gatutkaca, Brojomusti mengatakan bahwa Brojodento terlalu kuat untuk dilawan. Oleh karena itu, Brojomusti memutuskan untuk merasuk ke dalam telapak tangan Gatutkaca sebelah kiri dan Brojolamoatan merasuk ke dalam paha Gatutkaca sebelah kanan. Mereka berpikir mungkin dengan cara itu, Brojomusti dan Brojolamatan bisa lebih mantap dalam membaktikan dirinya kepada negara. Dan dengan cara itu pula siapa tahu Brojodento dapat dikalahkan. Demikianlah akhirnya kedua paman itu merasuk ke dalam telapak tangan kiri dan paha sebelah kanan Gatutkaca.

Dalam waktu singkat datanglah pasukan di bawah pimpinan Brojodento. Mereka langsung menyerbu alun-alun sambil berteriak-teriak dengan tidak sopan. Gatutkaca mulai panas hatinya. Namun, ibunya menenangkannya agar Gatutkaca tidak mudah terbakar emosi. Dikatakan oleh ibunya–Arimbi–agar dalam menghadapi Brojodento, Gatutkaca menghindari kontak langsung. Adapun alasannya karena Brojodento memiliki kesaktian yang bernama Sejuta Api. Dalam keadaan marah, kesaktian itu dipanggil untuk menjadikan tubuhnya bagaikan kobaran api yang menyala-nyala.

Dengan mengingat petuah ibunya, Gatutkaca berangkat menghadapi pamannya sendiri. Setiap kali Brojodento mendekat, Gatutkaca menghindar. Untuk mengalihkan perhatian Brojodento kepada Gatutkaca, ia melepas badhongnya dan dilemparkannya ke tanah. Badhong yang sebenarnya memiliki daya kekuatan itu berubah menjadi Gatutkaca kedua. Brojodento bingung memlih mana Gatutkaca yang sebenarnya. Dalam keadaan kacau itulah, Gatutkaca meminta bantuan Brojomusti dan Brojolamatan yang sudah merasuk dalam telapak tangan kiri dan paha kanannya. Seketika kedua saudara yang sudah berubah menjadi kekuatan mahadahsyat itu menyembur keluar dengan sentakan penuh dan langsung menghantam Brojodento. Brojodento jatuh tersungkur, terengah-engah. Sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia minta kepada Gatutkaca jika diperkenankan ia juga ingin bersatu dalam tubuh Gatutkaca bersama kedua saudaranya yang lain. Dengan rela Gatutkaca mempersilahkan pamannya merasuk ke dalam tubuhnya. Maka berakhirlah pergolakan di Pringgondani dengan kemenangan Gatutkaca, penguasa yang sah. Badhong yang dilemparkan ke tanah oleh Gatutkaca itu kemudian berubah menjadi batu besar.

Menurut seorang narasumber, batu besar itu pernah dianggap sangat keramat pada zaman revolusi fisik. Batu besar yang bagian atasnya runcing mirip badhong itu, pada zaman gerilyawan republik melawan Belanda sering digunakan untuk bersembunyi pasukan republik. Konon, orang-orang Belanda tidak dapat melihat sejumlah tentara pelajar yang kucing-kucingan di belakang batu besar itu.

Kesimpulan
Dari cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa kisah tentang badhong Gatutkaca adalah legenda karena seperti halnya Gunung Tangkuban Perahu yang dibayangkan sebagai perahu Sangkuriang, batu besar yang pernah ada di dusun Pringgondani itu oleh penduduk setempat dianggap sebagai badhong yang benar-benar milik Gatutkaca. Di samping itu, di wilayah dusun Pringgondani ada beberapa gang yang diberi nama tokoh-tokoh dari Kerajaan Pringgondani, misalnya Gang Arimbi, Gang Brojodento, Gang Brojowikalpo, Gang Brojomusti, dan Gang Kalabendono. Yang lebih menarik dari sejumlah narasumber diperoleh keterangan bahwa hingga awal tahun 1970-an masih ada sejumlah orang lanjut usia yang pada waktu itu masih hidup, percaya bahwa mereka adalah keturunan tokoh-tokoh wayang. Ada yang merasa bahwa kakek moyang mereka adalah Arjuna, Setyaki bahkan ada yang bangga karena kakek moyang mereka raksasa. Dari legenda tersebut kiranya kita dapat memetik pelajaran bahwa karena Raja Muda Gatutkaca memerintah Kerajaan Pringgondani dengan baik, usaha Brojodento untuk melakukan perebutan kekuasaan dapat dipatahakan. Sebagai anak tertua, Brojodento memang berhak atas mahkota dan tahta Kerajaan Pringgondani, tetapi perangainya yang kurang baik membuat ayahya–Raja Arimbi–memberikan warisan kekuasaannya kepada puterinya, Arimbi. Kemudian Gatutkaca melanjutkan memerintah kerajaan itu dengan adil dan bijaksana. Setiap kali penduduk setempat di dusun Pringgondani mengenang pernah adanya batu besar di dusun itu, mereka akan memuji para raja dan penguasa yang senantiasa adil dan bijaksana serta melindungi rakyatnya.

Komentar

Postingan Populer