Cerita Rakyat Yogyakarta "Asal Usul Nama Yogyakarta"


Yogyakarta adalah salah satu kota yang berada di wilayah Pulau Jawa dengan memiliki berbagai ciri khas. Kota ini dikenal sebagai kota pelajar, kota budaya, kota wisata dan berbagai sebutan lainnya. Namun darimanakah kota ini bisa memiliki nama Yogyakarta itu sendiri? Nama Yogyakarta sendiri berasal dari kata Ayodya, yang merupakan nama sebuah kerajaan terkenal dalam jagad wayang menurut serial epos Ramayana. Ayodya adalah kerajaan besar tempat Sri Rama yang merupakan tokoh utama dalam serial Ramayana dilahirkan. Lalu mengapa nama Ayodya yang dipilih menjadi nama daerah ini? Berikut ini adalah penjelasan mengenai asal usul dari nama Yogyakarta itu sendiri.


Sebelum di daerah Yogyakarta dan Surakarta didirikan kerajaan, dulunya wilayah itu menjadi satu  daerah kekuasaan yang disebut dengan Mataram. Mataram adalah kerajaan Hindhu yang memiliki cerita besar dalam sejarahnya. Ibukota dari Kerajaan Mataram bernama Kartasura yang jaraknya kurang lebih adalah sepuluh kilometer di sebelah barat Surakarta (yang sekarang terkenal dengan sebutan kota Solo). Di kerajaan ini, bertahta Susuhunan Paku Buwono II yang kelak nantinya akan menjadi cikal bakal berdirinya Kasunanan Surakarta.


Pada tahun 1740, di Batavia (sekarang Jakarta) terjadi pemberontakan yang menjalar ke arah timur Pulau Jawa hingga sampai ke Kartasura. Pemberontakan itu berakibat pada jatuhnya Kerajaan Mataram pada tahun 1742. Pada saat Kerajaan Mataram jatuh, raja beserta pasukan dan semua nara prajurit melarikan diri kearah timur yang kemudian dinamakan Surakarta. Pemerintah penjajahan Belanda (kompeni) ikut membantu memulihkan wibawa raja di tempat barunya tersebut. Namun keadaan belum juga tenang karena Raden Mas Said, keponakan raja, memilih untuk memberontak karena tidak ingin bergabung dengan Pemerintah Belanda. Akibat dari pemberontakan tersebut kemudian raja membuat semacam sayembara, dimana bagi siapapun yang dapat memadamkan pemberontakan Raden Mas Said akan dihadiahi tanah yang luas di daerah Sukowati. Tertarik dengan adanya hadiah dari sayembara tersebut, Pangeran Mangkubumi (adik raja) menyanggupkan diri untuk menentramkan keadaan dengan menangkap Raden Mas Said. Akan tetapi Patih Pringgoloyo, salah satu patih kerajaan, tidak setuju dengan pilihan Pangeran Mangkubumi.


“Kalau Pangeran Mangkubumi mendapatkan hadiah tanah yang begitu luas, ia akan terlalu kuat. Itu akan sangat berbahaya dan akan memiliki kemungkinan besar terjadi perpecahan dalam Kerajaan Mataram” kata patih Pringgoloyo kepada raja sambil menghaturkan sembah. Sementara masalah itu belum juga dapat diselesaikan, datanglah Gubernur Jendral van Imhoff yang berniat menagih janji kepada Susuhunan mengenai tanah di daerah pantai utara sebagai pembayaran atas jasanya membantu memadamkan pemberontakan di Kartasura dan menentramkan keadaan.
  

“Hamba setuju. Hamba setuju. Bapak Gubernur Jendral pan Imop harus diberi hadiah tanah tersebut dan wilayah Sukowati jangan sampai diberikan kepada Pangeran Magkubumi. Jangan, pokoknya jangan! Dibatalkan saja janji itu kepada Pangeran Mangkubumi!” kata Patih Pringgoloyo dengan suaranya yang lantang. Tentu saja, Pangeran Mangkubumi sangat marah mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Patih Pringgoloyo. Susuhunan Paku Buwono II, sebelumnya memaklumi akan amarah yang diungkapkan oleh Pangeran Mangkubumi karena pada saat itu Pangeran Mangkubumi tengah berada pada masa mudanya. Menanggapi hal tersebut Jendral van Imoff menegur Pangeran Mangkubumi agar dapat menahan diri dan bersikap sopan di hadapan raja.
  
          
“Kamu harus berskap sopan Mangkubumi! Apa kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa?” kata van Imoff. Dapat dibayangkan, betapa malunya Pangeran Mangkubumi ketika berada di rumah sendiri, di tanah air sendiri, dikata-katai seperti itu oleh orang asing yang bukan berasal dari daerah itu. Karena tidak dapat menahan amarahnya, Pangeran Mangkubumi segera memberikan sembah kepada raja dan mohon ijin untuk bergabung dengan Raden Mas Said, orang yang seharusnya ia tumpas, untuk berjuang bersama melawan Belanda yang amat kurang ajar itu.
 
           
Pemberontakan yang dipimpin oleh dua bangsawan tangguh itu semakin hari kian meluas. Hingga akhirnya pada tahun 1750, di bawah pimpinan Raden Mas Said, yang juga dikenal dengan Pangeran Samber Nyawa, pasukan pemberontak datang untuk menyerbu Surakarta. Lagi-lagi pasukan Belanda diminta bantuannya oleh kerajaan Mataram untuk mengusir para pemberontak. Pada akhir dari pemberontakan ini Belanda berhasil menang, tetapi Belanda harus membayarnya dengan mahal karena ratusan tentara Belanda tewas terbunuh dan mengalami luka parah akibat pemberontakan ini. Bahkan selang dua tahun kemudian pada tahun 1752 terjadi pemberontakan lagi yang kian merajalela. Selain dengan usaha pemberontakan, Pangeran Mangkubumi juga berupaya dengan membujuk rakyat dari Madura sampai Banten untuk menolak semua perintah Belanda.

            
Sementara itu, Susuhunan Paku Buwono II sudah lengser dari tahtanya sebagai raja Mataram dan digantikan oleh Susuhunan Paku Buwono III. Dari pihak Belanda Gubernur Jendral van Imoff juga telah digantikan sementara oleh von Hohendorff dan selang dua tahun kemudian digantikan oleh  Nicolaas Hartingh. Pada awal masa kepemimpinannya Nicolaas Hartingh segera menghubungi Mangkubumi dan melalui seorang ulama berdarah Turki, bernama Syekh Ibrahim (Sarip Besar) menawarkan sebuah perjanjian perdamaian. Tawaran yang diberikan Belanda ini diterima dengan syarat Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua daerah kekuasaan. Pembagian kerajaan ini dikenal dengan nama Perjajian Giyanti yang dilaksanakan pada tangga 15 Februari 1755.

            
Bagaimana dengan Raden Mas Said yang telah berjuang bersama-sama dengan Pangeran Mangkubumi? Kelihaian Belanda adalah memecah belah, mengadu domba, dan kemudian menguasainya. Sebelum Hohendorff digantikan oleh Hartingh ia telah berupaya untuk menghubungi Raden Mas Said dan menawarkan kedudukan sebagai putra mahkota namun akhirnya hal tersebut ditolak oleh Raden Mas Said. Cara-cara Hohndorff dalam melakukan kontak dibuat sedimikian rupa agar Pangeran Mangkubumi tidak mencurigai Raden Mas Said. Oleh karena cara yang dilakukan oleh Belanda tersebut keduanya akhirnya pecah dan melakukan perjuangannya sendiri-sendiri.

Tatkala Perjanjian Giyanti ditandatangani, Susuhunan Paku Buwono III menyerahkan keris pusaka bernama Kyai Kopek, yang semula milik Sunan Kali Jaga, kepada Pangeran Mangkubumi. Pada saat itulah, Mangkubumi resmi menjadi raja dan bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Maka, sekarang tibalah waktunya untuk mencari tempat di mana istana kerajaan akan didirikan. Sementara usaha sedang dilakukan, Sultan berkenan bertempat tinggal di Ambar Ketawang, tidak terlalu jauh dari Art Gallery milik pelukis terkemuka, Drs. H. Amri Yahya.
            

Beberapa punggawa kerajaan diutus untuk mencari tempat yang tepat. Tentu saja, ini bukanlah suatu persoalan yang mudah. Sebab, walaupun pada waktu itu ilmu pengetahuan membangun rumah belum maju seperti sekarang, pengetahuan tradisional sudah cukup sebagai bekal. Namun, karena kegigihan para punggawa, akhirnya tempat itu ditemukan, yaitu hutan Garjitawati, tidak jauh dari desa Beringan. Mengetahui usulan tersebut Sultan pun menyetujuinya untuk mendirikan istana kerajaan di tempat tersebut. Lalu, akan diberi nama apa kerajaan baru itu?


Hasil gambar untuk pangeran mangkubumiAlkisah, tatkala masih memimpin perang, oleh para prajurit dan punggawanya yang dekat, Pangeran Mangkubumi senantiasa dipandang mereka dengan penuh kekaguman. Apalagi, tatkala Mangkubumi berhasil menghimpun rakyat di pantai utara untuk melawan Belanda. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Kemampuan beliau menghimpun rakyat, dipandang oleh para punggawa dan prajurit, bagaikan Sri Rama yang mengerahkan pasukan kera melawan bala tentara raksasa dari Kerajaan Alengka. Oleh karena kemampuannya tersebut, Pangeran Mangkubumi dijuluki senagai seorang ahli perang. Namun, Mangkubumi juga dikenal sebagai seorang yang gemar bertapa dan bersamadi. Tujuannya, tak lain adalah untuk merenungkan semua peristiwa dan mempertimbangkan tindakan yang tepat sebelum melakukannya. Menurut beberapa punggawa, selepas bersamadi, wajah Mangkubumi nampak bersinar; bahkan dari kedua matanya memancar cahaya yang menyorot. Siapa pun yang dipandangnya bagaikan sedang disentuh hatinya. Tidaklah mengherankan jika punggawa membayangkan bahwa Mangkubumi adalah jelmaan dari Dewa Wisnu sendiri.


Dalam wayang, Dewa Wisnu menjelma menjadi Krishna yang berkerajaan di Dwarawati. Krishna adalah penasihat dari keluarga Pandawa yang akhirnya memenangkan pertempuran besar Bharatayuda. Bagi para punggawa, sebelum Dewa Wisnu menjelma menjadi Krishna, terlebih dahulu ia menjelma menjadi Sri Rama yang berkerajaan di Ayodya. Karena Mangkubumi yang sudah bergelar Hamengku Buwono I dipandang sebagai jelmaan Dewa Wisnu dalam wujud Sri Rama, pantaslah jika kerajaannya disebut Ayodya. Demikianlah, maka kerajaan tersebut disebut Ayodya, yang kemudian disingkat menjadi Yodya.


Hasil gambar untuk keraton yogyakartaSetiap penamaan, terkadang, bukan hanya memberi tanda kepada sesuatu atau seseorang, tetapi juga terkandung harapan. Apalagi, kerajaan itu dibangun dengan kekuatan senjata serta pertarungan jiwa dan raga. Harapan para punggawa, setelah kerajaan Yodya dibangun, seterusnya akan senantiasa aman, tenteram, damai dan sejahtera. Itulah sebabnya, nama Yodya ditambah dengan kata “karta” yang mengandung makna serba baik. Demikianlah, kerajaan itu kemudian disebut dengan nama Yodyakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, mungkin disebabkan karena ucapan, nama itu menjadi Yogyakarta hingga sekarang. Di sebelah utara istana Yogyakarta terdapat sebuah pasar yang kini dibangun dengan bagus sekali, yang disebut Pasar Beringharja. Nama tersebut diambil dari yang semula adalah Desa Beringan, yang letaknya berada di sebelah utara hutan Garjitawati.

Komentar

Postingan Populer