Cerpen " Besok Aja "

Besok Aja

Dalam menjalin suatu hubungan dengan orang lain dibutuhkan suatu ungkapan perasaan yang harus disampaikan oleh seseorang pada orang yang ia cintai. Untuk mengungkapkan suatu perasaan tersebut diperlukan suatu keberanian yang lebih, dari seseorang kepada orang lain. Memang tak semua orang dapat dengan mudah dalam hal mengungkapkan perasaannya pada orang lain, karena semua orang memanglah berbeda. Namun apabila keberanian itu tidak muncul juga bagaimana orang lain akan mengetahui rasa yang ada dalam diri seseorang. Keberanian itu harus muncul atau jikalau tidak, hanya akan membuat rasa resah dalam lubuk hati seorang manusia. Hal ini mungkin terlalu berlebihan, namun memang dengan begitulah suatu ikatan yang bernama cinta dapat hadir diantara aku dan dia.

Aku bukanlah seorang lelaki yang luar biasa, yang hanya terlahir dari keluarga sederhana dengan impian dan keinginan yang besar. Aku dan keluargaku hidup sederhana didalam sebuah desa yang terletak dikaki pegunungan Heronem. Jauh dari keramaian dan juga kepenatan kota metropolitan. Namun dengan semua keterbatasan itu tidaklah menyurutkan tekad dan impianku dalam tugas sebagai  manusia. Kedua orang tuaku biasa memanggilku Alex. Aku hidup diantara kedua orang tua dan satu saudara laki-laki. Kami hidup bahagia meskipun terkadang juga terdapat berbagai masalah ditengah kebahagiaan kami itu.

Saat ini aku masih melanjutkan studiku di bangku SMA yang berada agak jauh dari rumahku. Kira-kira 20 km adalah jarak yang harus aku tempuh setiap hari untuk sampai ke sebuah tempat yang disebut sekolah. Memang terdapat sekolah lain yang berada lebih dekat dengan rumah namun karena agar prestasiku dapat membaik aku memutuskan untuk bersekolah di sekolah berkualitas yang sedikit lebih jauh dari rumah. Karena keterbatasan perekonomian untuk membayar kost aku hanya bisa berangkat dari rumah naik sepeda motor warisan dari Valentino Rossi. Oleh karenanya berangkat pagi adalah satu-satunya kewajiban yang harus kulakukan tiap hari. Bangun pukul lima hanya untuk sekedar mematikan alarm dan lalu melanjutkan tidur, adalah kebiasaan rutin yang kerap kulakukan tiap hari untuk dapat mewujudkan keinginan yang ingin kucapai.

Pada awal masa sekolah berada di SMA, aku hanya menganggap masa SMA ini hanya sebagai masa sekolah biasa yang harus kusiapkan dengan sungguh agar kelak dapat diteima di perguruan tinggi yang kuinginkan. Tidak ada yang namanya bermain, hangout, pacaran atau berbagai kesibukan lainnya karena kesibukan dari tugas yang terus menumpuk hari demi hari. Tugas yang bukannya berkurang namun malah terus bertambah. Hingga rasanya hari Minggu pun seperti hari Senin karena waktu yang hanya dapat kugunakan untuk mengerjakan tugas. Terkadang terbesit rasa dihati untuk meninggalkan tugas ini namun aku teringat pada kedua orang tua yang sudah bekerja keras untuk membiayaiku.

Awalnya di SMA ini tiada satu orang pun yang kukenal, karena semua teman yang lain berasal dari sekolah yang berbeda denganku. Aku hanyalah satu-satunya perwakilan dari sekolahku yang mungkin bisa dikatakan nyasar sampai di SMA ini. Di kelas baru ini aku hanya bisa diam berlagak sok cool karena bingung harus berbicara apa dan dengan siapa. Teman-temanku berbicara tentang hal yang belum pernah kudengar sebelumnya. Entah karena aku yang ketinggalan zaman atau mungkin karena mereka berbicara dengan bahasa alien Pluto yang sangat sulit kupahami bahkan hanya untuk kudengar.

Namun hari demi hari terus berlalu, aku menjadi semakin mengenal banyak teman dan menjadi dikenal oleh teman lain yang entah karena mereka terpaksa mengenalku atau tidak. Cara belajar berkelompok juga membuatku semakin mengenal teman-teman lainnya, baik sesama jenis lelaki atau juga perempuan. Teman-teman di kelas juga menerimaku sebagai teman dengan baik. Kebanyakan temanku memang adalah perempuan, bukan karena pergaulanku yang keliru namun karena populasi anak laki-laki yang mulai mencemaskan dan mendekati kepunahan di sekolah ini. Akhirnya dengan ikhlas hati aku pun mempunyai banyak teman perempuan dan bergaul dengan mereka. Aku menjadi semakin mengerti tentang jalan berpikir mereka, hati mereka dan juga harapan mereka pada anak laki-laki. Sesekali aku juga sering melirik mereka tentang siapakah laki-laki yang mereka sukai. Mereka banyak berkata bahwa anak sekolah lain lebih ganteng, kaya, gaul dan nggaya, lebih dari apa yang ada di sekolah ini. Aku juga hanya bisa menerima karena memang benar apa yang telah mereka katakan itu.

Dalam masa sekolah ini aku juga semakin menyadari akan arti penting dari seorang teman di sekolah. Entah membantu dalam mengerjakan pr, memberi contekan, membelikan makan dan lain sebagainya. Karena beberapa keuntungan dari mempunyai banyak teman tersebut, aku berusaha untuk semakin banyak mengenal teman. Mulai dari yang berwajah pas-pasan hingga sedengan atau bahkan yang kaya dan tidak miskin. Pencarian teman itu pun terus kulanjutkan dalam kenangan hari yang berharga di SMA ini. Hingga pada suatu hari pada saat mengerjakan tugas dalam kelompok aku menjadi mengenal dia. Dia adalah anak perempuan biasa dari sekian banyak perempuan di sekolah ini. Sebelumnya aku memang kurang memperhatikannya karena mungkin kukira ia kurang penting kuperhatikan daripada teman yang lain. Aku pun mencoba mengajaknya berkenalan dengan suatu kebulatan tekad yang tinggi.
“ Eh, kamu yang namanya Olivia bukan? ”
“ Iya bener aku Olivia kok. Kamu Alex to. ”
“ Hehe iya, kayake aku baru liat kamu sekarang. ”
“ Masa sih? Bisa aja kamu tu. ”
“ Salam kenal ya. ”
“ Iya. ”
Perkenalan itu kuanggap sebagai hal yang cukup berharga bagiku di hari yang baru ini. Aku merasa mendapat teman yang cukup berharga dan berguna bagiku. Aku menganggap Olivia sebagai orang yang cukup pintar karena dalam kelompok ia cukup aktif memberi masukan bagi kebaikan kelompok.

Lama-kelamaan aku dan Olivia terus menjalin keakraban sebagai teman satu sama lain. Entah mengapa kami semakin banyak dipertemukan dalam kelompok yang sama meski pelajarannya berbeda. Aku pun mencoba untuk semakin mengenalnya baik dengan duduk dibelakangnya pada saat pelajaran di kelas ataupun lewat chat via sosial media. Awalnya aku hanya berbicara padanya tentang masalah pelajaran yang menumpuk semakin banyak, namun lama kelamaan aku juga menanyakan tentang kesehariaannya. Olivia pun membalas setiap pertanyaan dariku dengan senang hati dan senyuman manis yang terlontar dari bibir merahnya. Terkadang ia juga menanyakan tentang kehidupanku yang kian hari kian rumit.

Pandanganku terhadap Olivia pun mulai berubah, yang awalnya hanya sebagai orang biasa menjadi orang yang cukup penting. Kami semakin sering bertemu baik di dalam sekolah ataupun dalam kegiatan di luar sekolah. Perlahan aku merasakan bahwa benih-benih cinta mulai tumbuh dari dalam hatiku pada Olivia. Aku merasa Olivia sebagai orang yang telah berhasil membuatku berubah mulai dari menjadi sering belajar dan juga menjadi bangun tidak lagi kesiangan. Entah apa yang dirasa oleh Olivia, tapi aku juga merasa kalau ia juga menanggapi perasaan dariku. Mungkin tak secara nyata ia dalam menyatakannya tapi aku dapat merasakan tentang adanya perasaan itu yang muncul dari diri Olivia.

Namun terdapat berbagai halangan yang berada dalam hatiku dalam usaha untuk mendapatkan Olivia. Terkadang aku merasa bahwa ada wanita lain yang lebih baik daripada Olivia. Ada juga godaan dari sesama teman laki lain yang sering menjodohkan-jodohkanku dengan orang lain. Mereka sering menjodohkanku dengan wanita dari kelas lain yang belum tentu kukenal. Terkadang hal itu sering mengganggu kehidupanku yang mulai berjalan agak baik karena Olivia. Tapi aku terus meneguhkan hati agar aku tidak berpindah ke lain hati dan tetap bersama Olivia.

Perlahan banyak teman yang mulai mengetahui tentang adanya hubungan spesial antara aku dan Olivia. Entah darimana datangnya kabar itu tetapi beberapa teman kelas menjadi mengetahui hal tersebut. Awalnya memang hanya satu dua orang namun kelamaan satu kelas menjadi mengetahui tentang hal itu. Setelah mengetahui hal itu teman-teman mulai sering mengejek dan menjodohkan aku dengan Olivia. Aku pun hanya bisa tersipu malu-malu tikus mengetahui bahwa perasaanku pada Olivia akhirnya ketahuan. Olivia pun begitu terkejut setelah mengetahui tentang terbongkarnya kabar tersebut.

Teman-teman pun terkadang membuat berbagai rencana yang sering membuat agar aku dapat bertemu dengan Olivia. Rencana yang mereka buat juga terkadang aneh-aneh yang kadang melibatkan guru. Hal tersebut hanya bisa membuatku dan Olivia malu karena bahkan guru pun menjadi mengetahui tentang kabar tersebut. Hingga pada akhirnya teman-teman merencanakan sebuah hari untuk aku agar menyatakan perasaanku pada Olivia. Aku merasa hal tersebut berlebihan karena aku dan Olivia hanya baru kenal dan belum saatnya kami untuk menjalin sebuah hubungan yang lebih lanjut. Namun teman-teman terus mendorongku agar berani untuk menyatakan hal tersebut agar Olivia dapat mengetahui tentang rasa yang ada dalam diriku. Dari semakin banyak temanku yang membantuku mendekati   Olivia terdapat temanku Fadli, yang terus memberiku dorongan dan saran agar aku mempunyai keberanian lebih dalam menyatakan perasaanku pada Olivia.
“ Heh Lex, kamu itu anak cowok masa nembak cewek aja ngga berani. ”
“ Bukannya gitu tapi masa harus sampe kayak gitu. ”
“ Oliv tuh anak cantik tembak aja, kalo ngga malah gue tikung lho nanti. ”

Perkataan Fadli itu terus terngiang-ngiang dipikiranku yang tak terlalu besar ini yang membuatku sulit untuk mencerna makanan. Perlahan aku mulai memahami tentang perkataan Fadli itu dan mulai memikirkan tentang hal yang harus kulakukan selanjutnya. Aku berpikir bahwa tak ada salahnya juga bila aku mencoba untuk menyatakan perasaan itu daripada harus terus kupendam dalam lapisan bumi. Akhirnya setelah berhasil membulatkan tahu bulat dan tekad aku memutuskan hari dimana aku harus menyatakan perasaan ini pada Olivia.

Di hari yang telah kupilih ini aku berusaha berangkat pagi agar mendapatkan waktu yang tepat dalam menyatakan rasa ini. Dalam perjalanan berangkat pun aku berusaha menyiapkan kata-kata apakah yang harus kuucap nanti ketika bertatapan mata dengan Olivia. Sampai di sekolah aku hanya bisa tercengang mengetahui bahwa belum ada teman lain yang berangkat kecuali Olivia yang sudah duduk manis di dalam kelas kami. Awalnya aku sangat gugup dalam melangkahkan kaki untuk memasuki kelas. Olivia hanya bisa tersenyum kecil, melihat sikapku yang sangat aneh ini. Setelah sampai di depan kursi tempat Olivia duduk aku mulai membuka perbincangan dengannya
“ Kamu udah nyampe dari tadi? ”
“ Iya tadi jam 6 udah sampe. ”
“ Hehe makasih ya udah mau berangkat sepagi ini. ”
“ Ngga papa lah, udah biasa kok lagian. ”
“ Liv aku mau ngomong sesuatu sama kamu. ”
“ Ngomong aja nanti aku dengerin. ”
“ Dari awal aku kenal kamu, aku jadi berubah baik. Aku ngira kalo kamu ini bawa banyak dampak positif sama kehidupanku ini. Terus aku pengen kalo kita bisa tambah deket lagi, jadi kamu mau ngga jadi pacarku? ”
“ Oh jadi gitu to. Lex gimana ya, kalo buat saat ini kayake aku belum bisa deh. Aku masih fokus belajar sama takutnya nanti kalo pacaran bisa ganggu belajar. Jadi buat saat ini belum dulu ya. ”

Memang jawaban ini bukanlah hal yang kuingin keluar dari mulut Olivia di pagi ini. Namun setidaknya rasa lega terus menguatkanku dalam menerima kenyataan yang seperti ilusi optik ini. Teman-teman kelas menjadi mengetahui hal tersebut. Aku bersyukur karena mereka terus menguatkanku dan membantuku untuk melupakan hal tragis ini.

Aku terus mencoba melupakan hal itu dalam lembaran hari yang terus berganti. Namun terkadang Fadli masih tetap terus mencoba membuat aku dan Olivia menjadi dekat lagi. Memang setelah hari itu kupikir Olivia menjadi bersikap berbeda denganku daripada dengan teman yang lain. Mungkin ia menganggapku hanya sebagai aib dalam hidupnya yang suci nan bersih dari noda dosa. Terkadang terbesit dipikiranku bahwa hari itu adalah hari yang seharusnya tidak terjadi dalam kehidupan umat manusia. Karena dengan adanya hari itu hubungan dekatku dengan Olivia kian merenggang. Kami menjadi semakin jarang bicara dan chat. Aku merasa hari itu sebagai bagian kelam dalam kehidupanku yang sudah kelam ini.

Terkadang aku terus mengikuti tentang kabar mengenai tumbuh kembang Olivia yang kudapat dari beberapa teman dekatnya. Meskipun terkadang mereka juga sering memberiku kabar yang tidak benar. Aku hanya ingin mengetahui tentang hal apa yang dilakukan Olivia setelah hari itu terjadi. Dalam benakku aku menganggap bahwa setelah hari itu Olivia menjadi semakin cantik dan kian dikenal oleh teman-teman lainnya. Aku hanya berharap agar teman-teman tidak selalu mengaitkanku dengan Olivia agar Olivia dapat memulai lembaran baru kehidupannya.

Tetapi dalam langkah hidupku di hari yang baru, aku tetap tidak bisa melupakan Olivia. Aku merasa bahwa dengan tidak adanya Olivia dalam membimbing hidupku membuatku menjadi hidup tidak teratur. Olivia masih kuanggap sebagai bagian penting kehidupanku meski ia telah kucoba lupakan. Esok dan malam dalam langkah hidup ini aku hanya membayangkan Olivia yang terasa sangat berarti bagi kehidupan seorang anak manusia ini. Berat rasanya melupakan kenangan bersamanya yang telah kubangun dengan sebaik-baiknya.

Suatu hari aku mendengar kabar yang coba ditutup-tutupi oleh teman dekat Olivia. Mereka berkata bahwa hal ini penting dan kelihatannya akan merubah kehidupanku selanjutnya. Aku mencoba memikirkan tentang hal apa yang sedang mereka coba bicarakan. Mereka masih mencoba menyembunyikan hal itu dan berusaha agar aku tidak mengetahuinya. Tetapi aku terus mencoba memaksa mereka agar mau memberi tahu tentang kabar mengenai Olivia itu. Hingga pada akhirnya aku berhasil membujuk Tiara untuk memberitahuku.
“ Aku ngga tahu apa-apa Lex. Itu Cuma becanda doang kok. ”
“ Halah yang bener aja ngga usah ditutupi lagi. ”
“ Diomongin malah, tanya aja sama Oliv langsung kalo berani. ”
“ Udah cepetan omong aja. ”
“ Jadi gini Lex, si Oliv itu lagi suka sama seseorang. ”
“ Siapa? ”
“ Halah kamu tahu lah, pokoknya dia itu kakak kelas kita yang udah lulus. ”

Setelah mengetahui hal tersebut aku menjadi semakin penasaran dengan kabar yang telah Tiara katakan itu. Awalnya aku berpikir bahwa itu hanya lelucon dari Tiara agar aku dapat melupakan Olivia dari kehidupanku. Tetapi lama kelamaan aku menjadi semakin penasaran tentang kebenaran dari kabar yang dikatakan oleh Tiara tersebut. Aku mencoba mencari tahu tentang siapakah sosok lelaki yang Olivia sukai. Hal tersebut coba kucari tau agar dengannya aku dapat membuat Olivia dekat dengannya dan membuat Olivia dapat hidup bahagia lagi. Karenanya setelah hari itu aku mulai merubah tujuan hidupku dari yang awalnya untuk mendapatkan Olivia menjadi membahagiakan Olivia.

Fadli pun berusaha membantuku dalam mencari informasi tentang sosok lelaki ini. Tiara pernah mengatakan bahwa aku mengenalnya dan adiknya bersekolah di sekolah yang sama dengan sekolah kami saat ini. Aku mencoba mendata seluruh temanku untuk mengetahui siapakah sosok lelaki ini yang merupakan kakak kandungnya. Mulai dari kelas bawah atau atas aku datangi namun yang kudapat hanyalah jawaban yang kurang memuaskan. Sesekali terpikir dalam hatiku untuk menyerah lagi karena tiadanya jawaban yang dapat membantuku dalam memecahkan teka-teki kehidupan ini.

Siang malam aku hanya terus memikirkan tentang sosok lelaki ini yang kian lama kian menhantui pikiranku. Tetapi aku terus berusaha agar tidak gagal seperti yang dulu lagi. Lalu akhirnya Tiara memberitahuku bahwa sosok lelaki yang disukai Olivia ini tidak tinggal jauh dari rumah Tiara. Aku berpikir apa harus menemui sosok kakak kelas inihingga rumahnya atau tidak. Karena kebanyakan orang menganggap masalah ini sebagai masalah sepele yang tidak harus diselesaikan hingga sejauh ini. Pada saat pikiranku mulai mengeluarkan asap panas akhirnya aku dan Fadli memutuskan untuk datang ke rumah tempat sosok lelaki ini tinggal. Kupikir hanya tinggal inilah satu-satunya cara dalam menyelesaikan masalah yang tidak kunjung selesai ini.

Pada hari yang telah ditentukan akhirnya aku dan Fadli memutuskan untuk berangkat ke rumah sosok lelaki ini. Sepulang sekolah kami segera bergegas menuju parkiran untuk berangkat menuju lokasi. Mungkin karena terlalu bersemangat, aku pun sampai lupa tentang motor yang tadi kubawa. Memang cukup sulit membedakan motor disini karena kebanyakan sejenis. Aku dan Fadli pun memutuskan untuk berpencar mencari motor yang tadi kubawa. Namun entah kenapa Fadli tiba-tiba hilang dari penglihatan elang rajawaliku. Fadli seperti sudah menyatu dengan tembok sekitar parkiran yang dipenuhi oleh gambaran warna-warni.

Aku berpikir bahwa masalah ini bertambah rumit karena hilangnya Fadli dari penglihatanku. Apakah gara-gara aku Fadli harus sampai hilang seperti ini. Tapi aku tetap berusaha mencari motor dan juga Fadli di parkiran sekolah ini. Hingga pada akhirnya aku melihat motorku dari kejauhan yang sudah nampak velk bannya  yang berkilauan seperti tanpa kaca. Aku pun lari menuju motorku yang berada di kejauhan. Meskipun banyak putri malu dan rumput yang menghadang aku tetap berlari sekuat tenaga agar segera sampai. Setelah hampir berada di dekat motor aku melihat Olivia yang sudah berada di dekat motor itu. Aku heran juga karena Tiara, Fadli dan beberapa teman lainnya juga sudah berada di belakang Olivia. Setelah beberapa saat kebingungan akhirnya aku pun memutuskan untuk bertanya pada Olivia.
“ Loh, Oliv kok kamu bisa disini? Bukannya tadi di UKS ya. ”
“ Iya emang bener, aku udah disini. ”
“ Ini maksudnya apa? ”
“ Semua ini kami siapin buat kamu Lex. ” sahut Fadli dari kejauhan.
“ Kamu masih inget hari itu? ” tanya Olivia.
“ Pas aku nembak kamu? ”
“ Iya, itu masih inget. ”
“ Sorry ya Liv buat hari itu. Aku jadi bikin kamu malu. ”
“ Ngga kok, justru itu maksudnya. ”

Sejenak aku masih terkejut dengan perkataan Olivia yang masih membingungkan dan sulit untuk kupahami. Ditambah lagi dengan teman-teman semuanya yang ikut terlibat dalam hal ini yang sangat tidak masuk akal.
“ Aku kan dulu bilang kalo mau fokus belajar dulu kan? ” sambung Olivia.
“ Iya aku tahu kok, aku juga tahu kalo kamu ngga suka sama aku. ”
“ Bukan gitu, maksudnya aku masih mau belajar memahami kamu lagi. ”
“ Gimana nih maksudnya? ”
“ Maksudnya aku masih mau kayak dulu lagi tapi belum pacaran. ”
“ Owalah gitu mau kamu, lah terus sama kakak kelas yang kamu suka itu? ”
“ Itu sih cuma akal-akalannya Tiara aja buat nguji kamu. ”
“ Jadi itu cuman bohongan? ”
“ Iyalah, jadi Lex kamu mau kan kita kayak dulu lagi? ”
“ Iya aku mau, jadi pacarannya ngga usah kan? ”
“ Besok aja ya, pas udah kuliah. ”

Seketika perasaan lega segera membanjiri hati dan pikiran yang sudah sangat resah ini. Akhirnya aku menjadi mengetahui tentang jawaban Olivia tentang diriku yang selama ini sudah salah kutafsirkan. Setelah hal itu terjadi kami pun menjadi sahabat dekat lagi seperti dahulu kala. Kami menjadi semakin dekat bahkan melebihi yang dulu. Tetapi aku masih diliputi dengan kebingungan tentang jawaban Olivia pada diriku tentang pertanyaan pacaran yang ia jawab dengan “ Besok aja ya, pas udah kuliah. ”

- SELESAI -

Komentar

Postingan Populer